![]() |
Penampakan tanah saat kekeringan melanda Wonogiri/ Dok. Internet |
Koma, Wonogiri — Setiap tahunnya, Wonogiri memang dikenal dengan budayanya ketika bahkan sebelum musim kemarau mendatang, krisis kekeringan.
Kekeringan di Wonogiri bukan hal yang jarang ditemui di daerah selatan Wonogiri, khususnya di daerah Pracimantoro dan Paranggupito, sampai-sampai kemudian muncul kalimat, “daripada mbangun mending tuku banyu (daripada membangun fasilitas publik, mendingan beli air.)” Hal ini tidak bisa dipungkiri mengingat letak geografisnya yang di dekat pantai memungkinkan penguapan terasa maksimal dan tidak memungkinkan untuk hujan.
“Memang ada 4 dusun di Paranggupito yang tercukupi dengan sumber air Telaga Tangkil, sedangkan Hidran Umum yang dari sumber Waru debit airnya mulai berkurang sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan warga masyarakat.” ujar Agus Setiawan, tokoh masyarakat setempat. Ya, memang seburuk itu kondisi kekeringan di Wonogiri bagian selatan sejak Juni 2020 lalu. Sumber air bersih tersisa hanya satu atau dua saja, sehingga warga setempat diharuskan membeli air dari mobil tangki yang memutari kecamatan-kecamatan tertentu.
Meskipun kebutuhan air dapat dicukupi dengan membeli air bersih dari tangka, muncul permasalahan baru dimana kebutuhan air bersih hanya bisa dibeli oleh keluarga mampu karena tiap tangki airnya dihargai berkisar 150.000 sampai 170.000 rupiah, beberapa keluarga bahkan terpaksa menjual hewan ternak mereka seperti sapi untuk membeli air bersih demi kebutuhan sehari-hari.
Posting Komentar