Kain Ecoprint, Wastra Kontemporer Ramah Lingkungan

Potret Susi bersama keluarga saat mengenakan pakaian dari kain ecoprint / Dok. Arsip Pribadi Susi

Apakah Kulturmates tau dalam pembuatan batik, limbah cair industri ini adalah limbah yang paling banyak dihasilkan? Dan limbah tersebut berpotensi mencemari lingkungan kalau tidak dikelola dengan baik. Hal ini terjadi akibat penggunaan pewarna sintetis yang seringkali melebihi baku mutu yang disyaratkan. Padahal permintaan pasar akan batik terus meningkat dan artinya berpotensi meningkatkan limbah cair industri batik juga. 


Untungnya, belum lama ini muncul teknik pembuatan kain yang mirip dengan batik namun lebih ramah lingkungan karena menggunakan 100% bahan bahan alami. Teknik pembuatan wastra nusantara dengan karakteristik kontemporer ini dikenal dengan sebutan ecoprint. Seperti namanya, ecoprint berasal dari kata eco atau ekosistem yang artinya alam atau lingkungan alami dan print berarti cetak. Proses pembuatan kain dengan teknik ini mirip dengan batik karena melalui tahap skoring dan mordanting juga. 


Oleh karena itu kain yang dibuat dengan teknik ecoprint seringkali disebut sebagai batik ecoprint. Bedanya, teknik ecoprint tidak menggunakan canting (alat untuk membatik) dan bahan malam, namun menggunakan bahan yang bisa diperoleh dari lingkungan sekitar yakni dedaunan yang menghasilkan warna alami.


Alternatif Wastra Ramah Lingkungan


Ibu Susi, seorang pengrajin kain ecoprint asal Magelang sekaligus pemilik usaha Batik Godhong, mengatakan bahwa dirinya sudah mengenal ecoprint sejak tahun 2016. Butuh waktu yang cukup lama bagi Bu Susi untuk mempelajari teknik ini sebelum akhirnya mantap mencoba membuat kain ecoprint pertamanya pada tahun 2018.


“Pada dasarnya saya orang yang suka keterampilan, suka sesuatu yang baru dan kreatif. Saat melihat kain ecoprint, kain itu kan tidak bisa diproduksi secara massal dan tidak bisa dibuat seragam karena prosesnya handmade jadi berawal dari sana saya tertarik untuk membuat kain ecoprint,” ungkap Bu Susi.


Media yang bisa digunakan dalam pembuatan ecoprint antara lain kain, kulit, kertas, dan keramik. Bu Susi sendiri lebih memilih menggunakan media yang nantinya dapat digunakan banyak orang seperti kain dan kulit. Jenis kain pun bermacam macam; ada kain prisima (katun jepang) seperti yang dipakai pada kain batik, kain kanvas, kain rayon, atau sutra jepang. Pemilihan kain ini bebas, tergantung dengan kebutuhan produksi.


“Kalau untuk sepatu atau hiasan bisa pakai kanvas. Untuk mukena atau baju harian bisa dicetak pada kain rayon yang adem di badan. Tapi ada juga kalau mau untuk pakaian resmi biasanya pakai sutra jepang atau katun sutra untuk bapak bapak,” ujar Bu Susi menambahkan.


Kemudian bahan utama yang dibutuhkan adalah daun-daunan. Perlu Kulturmates tau, hanya daun-daun tertentu loh yang dapat digunakan dalam pembuatan ecoprint karena tidak semua daun mengandung tanin atau zat warna yang berguna untuk mencetak warna pada kain. Untuk mencetak pola, Bu Susi mengatakan ia biasa menggunakan daun lanang, daun jati, daun kenikir, dan dedaunan lainnya. Tapi yang menarik, ternyata bisa juga mencetak pola menggunakan bunga.


“Kadang saya pengen (mencetak) dengan bermacam-macam daun dan dicampur dengan bunga. A beberapa bunga yang bisa kita gunakan. Misalnya bunga kenikir baik bunga maupun daun bisa kita gunakan dan hasilnya cantik. Kemudian kembang waru ada juga yang saya gunakan,” cetus Bu Susi. 


Nah, selain daun daunan ada bahan lain yang diperlukan antara lain sabun TRO, krim tartar, tunjung atau tawas atau cuka, dan kulit-kulit pohon atau dedaunan untuk pewarna alami.


Dari Alam Kembali ke Alam

Proses pembuatan kain ecoprint/Dok.Internet

Proses pembuatan kain dengan teknik ecoprint ini membutuhkan waktu yang panjang untuk menghasilkan satu helai kain yang siap pakai. Bu Susi mengatakan setidaknya perlu satu bulan untuk memproduksi kain yang panjangnya rata rata 2 meter.


Langkah pertama yang perlu dilakukan oleh Bu Susi saat mengolah kain ecoprint adalah mencuci kain atau skoring. Proses mencuci ini bukan sembarang mencuci loh, Kulturmates. Pada proses ini bahan bahan kimia pada kain akan dilarutkan menggunakan sabun TRO dan tidak bisa memakai sabun biasa. Kalaupun terpaksa menggunakan sabun biasa maka harus menggunakan sabun tanpa pemutih.


Selanjutnya, kain yang telah dicuci bersih dengan TRO akan dikeringkan sebelum kemudian dilakukan proses mordanting. Tujuan dari proses mordanting ini adalah agar kain siap untuk mencetak pola dan warna dari daun-daunan. Untuk melakukan mordanting pada kain, umumnya bahan yang dipakai adalah soda ash. Namun, Bu Susi yang berpegang teguh pada prinsip ecoprint yang ramah lingkungan memilih menggunakan cream of tartar atau krim tartar pada proses mordanting.


“Saya lebih suka pakai krim tartar karena prinsip ecoprint adalah alami. Jadi, jangan sampai limbah yang kita pakai malah membunuh zat zat dalam tanah. Kalau krim tartar lebih aman, pakai soda ash resikonya kena tangan panas,” ungkap Bu Susi lebih lanjut menjelaskan perbedaan soda ash dan krim tartar.


Setelah proses mordanting selesai maka kain siap untuk diberi warna. Pada proses pembuatan ecoprint Bu Susi menggunakan 2 kain yang lebih sering disebut sebagai kain utama (KU) dan kain blanket. KU digunakan sebagai media utama pencetakan motif, sedangkan kain blanket berfungsi untuk menutupi KU pada saat proses pounding atau kukus. Umumnya KU inilah yang akan diberi pewarna sebelum nantinya mencetak motif dedaunan. Pewarnaan KU tetap menggunakan warna alami yang dibuat sendiri dan bisa diperoleh dari kayu tegeran, kayu akasia, kayu secang, kayu nangka, bahkan bubuk daun mangga.


Bu Susi menambahkan, “untuk menghasilkan warna harus kita rebus dulu bahan bahan itu paling tidak 2 jam tergantung kepekatan yang ingin kita buat. Warna itu yang akan kita gunakan untuk merendam kain.”


Ketika KU sudah diwarnai, maka tahap selanjutnya adalah proses ecoprint itu sendiri. Terdapat dua teknik yang cukup populer di kalangan pengrajin ecoprint, yakni teknik pounding (pukul) atau kukus. Sebelum mencetak, daun harus dicuci terlebih dahulu dan dikeringan dengan sempurna. “Jangan sampai ada air yang menetes karena air yang menetes itu bisa menimbulkan cacat pada kain meskipun cacat itu juga bisa menghasilkan seni tersendiri,” ujar Bus Susi.


Selanjutnya, daun yang telah dikeringkan akan ditata sedemikian rupa pada KU. “Tidak ada teknik khusus. Hanya selera kita, feeling kita,” ungkap Bu Susi saat menjelaskan cara menata daun pada kain. Daun yang sudah diletakkan pada kain sebisa mungkin jangan sampai bergeser. Terutama daun jati karena sekali bergeser maka akan keluar bayangan atau corak double pada kain. Wah, berarti harus hati hati banget nih Kulturmates!


Proses terakhir adalah mengukus kain selama 2 jam kemudian mengeringkannya. Kain yang sudah dikukus dan dikeringan belum bisa langsug dipakai karena harus didiamkan selama 2 minggu agar warnanya terikat dan membekas pada kain sehingga tidak mudah luntur. Setelah lewat 2 minggu maka bisa melakukan proses fiksasi menggunakan tawas, cuka, atau tunjung kemudian diangin-anginkan. Barulah kain bisa dipakai, Kulturmates!


Oiya, karena semua bahan yang digunakan Bu Susi ramah lingkungan maka limbah yang dihasilkan tentu tidak merusak lingkungan. Sisa zat warna yang berasal dari bahan alami aman untuk disiramkan ke tanaman. Daun daun yang sudah digunakan untuk mencetak awalnya hanya dibuang oleh Bu Susi, namun kini diolah kembali untuk menjadi pupuk.


“Awalnya pertama saya buang. Lama lama saya merasa sayang ketika daun numpuk banyak tapi saya buang padahal bisa dibuat pupuk. Saat ini saya kumpulkan, saya jadikan kompos,” ujar Bu Susi.


Bahan bahan yang mulanya didapat dari alam, kini kembali lagi ke alam. Menarik ya, Kulturmates!


Rangkaian Makna di balik Helai Ecoprint


Tak berbeda dengan batik yang mengandung sisipan doa dan harapan pembuatnya, kain ecoprint buatan Bu Susi pun juga demikian. “Saya menginginkan di setiap kain yang saya buat saya bisa memasukkan filosofinya disana, harapan disana,” ujar Bu Susi saat diwawancara. Pernah sekali waktu ia membuat kain ecoprint untuk sang Ibunda, jatuhlah pilihan motif pada daun jati. Alasannya karena jati melambangkan sifat yang kuat, tua, dan keras.


Di lain waktu, Bu Susi tertarik untuk mengambil nilai-nilai dari Borobudur sehingga ia menggunakan daun bodhi untuk membuat motif pada kain buatannya. Pernah juga ia membuat motif dengan daun kalpataru untuk melambangkan kehidupan alasannya karena kalpataru terus memproduksi oksigen dari pagi hingga malam yang sangat bermanfaat bagi makhluk hidup. “Mungkin itu yang memberdakan saya dengan pemain ecoprint lain. Jadi, saya selalu memasukkan filosofi dalam kain itu (re:ecoprint),” ungkap Bu Susi.


Salurkan Kreatifitas lewat Kain Ecoprint


Bila ditanya kapan waktu saja produksi Batik Godhong miliknya, maka Bu Susi akan menjawab, “Saya lebih suka membuat (re:kain ecoprint) ketika saya ingin membuat aja atau untuk penghilang rasa gabut. Untuk healing juga.” Ia mengatakan bahwa membuat kain ecoprint merupakan sarana doa dan meditasi karena setiap daun yang ditempelkan harus dengan hati hati dan penuh perasaan. “Jadi, biasanya saya menumpahkan semua rasa dalam kain ecoprint itu,” ujar Bu Susi menambahkan.


Kain kain ecoprint yang Bu Susi kreasikan tidak dijual secara masif. Ia biasanya hanya mengambil foto kain kain tersebut kemudian mengunggahnya ke media sosial. Jika, ada yang tertarik maka bisa langsung memesan. Bu Susi mengungkap harga kain ecoprint Batik Godhong berkisar 250 hingga 300 ribu untuk dua meter kain dengan bahan katun atau rayon. Lain halnya dengan kain berbahan sutra yang bisa dibanterol 1 hingga 1,5 juta tiap dua meternya.


Karena harga kain yang cenderung tinggi, Bu Susi berinovasi dengan mencetak ecoprint pada kaos. Tujuannya agar harga yang dipatok lebih terjangkau dan bisa dinikmati juga oleh kalangan muda. Namun, tak menutup kemungkinan bagi anak anak muda yang ingin bergaya menggunakan kain ecoprint juga.


“Ayo to kita bikin sendiri kain ecoprint itu. Lebih bangga kalau kita pakai kain ecoprint yang kita buat sendiri, hasil karya kita sendiri, kemudian kita pakai sendiri. Itukan lebih bangga. Dan membuat ecoprint sebetulnya kan tidak sulit caranya juga kalau mau bisa sederhana sekali. Ayo kita belajar bikin sendiri, siapa tau itu bisa menghasilkan juga,” tutur Bu Susi saat berpesan untuk anak muda yang ingin mulai berkain menggunakan ecoprint. Jadi, tunggu apalagi Kulturmates? Yuk, coba bikin kain ecoprint sendiri!


Share:

Posting Komentar

Copyright © Koma. Designed by OddThemes