Sarat Makna, Batik Tulis Tetap Lestari

Pengrajin batik tulis Laweyan menimpa kain dengan malam / Dok. Kultura (Izzam Traviata)

Batik memiliki sejarah panjang di Indonesia sebagai wastra tradisional yang dahulu dipakai orang-orang kita sebagai busana sehari-hari. Sejarah panjang ini pula memunculkan ratusan bahkan ribuan motif dari goresan malam yang sama, menjadi beragam gambar khas sesuai karakteristik daerah penghasil masing-masing. Per 2015 didokumentasikan, Indonesia sedikitnya memiliki 5.849 motif batik dari Aceh sampai Papua. Batik menjadi warisan budaya dunia milik Indonesia setelah ditetapkan oleh Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2 Oktober 2009. 


Terdapat beberapa kota di Indonesia yang menjadi sentra batik terbesar, Kota Solo menjadi salah satunya. Kampung Batik Laweyan menjadi yang paling besar di samping sentra batik Pasar Kliwon. Industri batik tulis warna alami di Laweyan mulai berkembang pada abad 14 M semasa pemerintahan keraton Pajang. Batik sebagai budaya secara harfiah akan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Hal ini turut disampaikan Iwan Setiawan, seorang pengusaha Batik Puspa Kencana di Laweyan, jenis batik yang diproduksi turut disesuaikan dengan perkembangan zaman seiring ditemukannya metode baru membatik.


“Sudah banyak yang memproduksi batik tulis, batik cap, batik printing juga setelah diakui UNESCO,” ujar Iwan Setiawan.


Batik tulis khas yang dihasilkan bermotifkan parang, kawung, sidomukti, sawat, dan motif klasik khas Solo yaitu motif sogan. Namun sejak 1970-an setelah ditemukan teknologi printing untuk membatik, batik tulis mengalami penurunan tajam bahkan menjadi mati. Untungnya edukasi dari pemerintah mengenai jenis batik dan bantuan Pemerintah Kota Solo tahun 2004 untuk mencanangkan Laweyan sebagai kampung batik, membangkitkan kembali Kampung Batik Laweyan untuk berjaya. Pada saat itu pemerintah juga memberikan payung hukum terhadap karya cipta batik sehingga 215 motif batik dari Laweyan sudah dipatenkan.


“Semenjak ada printing itu saingan antar batik cap dan batik tulis. Karena beda harga antara semuanya, apalagi batik tulis harganya lebih tinggi. Terlebih sutra itu (harganya) tinggi sekali,” ucap Iwan.


Menurut keterangan Ketua Harian Batik Putra Laweyan Azzam Fahri, batik tulis masih tetap eksis karena kebanyakan konsumennya adalah kolektor batik dan kalangan menengah ke atas yang mementingkan kualitas. Meskipun menurut Iwan Setiawan peminatnya banyak, tapi tidak sebanyak dahulu. Tak heran, harga batik tulis memang cenderung tinggi karena membutuhkan waktu pembuatan hingga 2-3 bulan.


“Kembali ke seni, kan batik itu nitik dari titik-titik membentuk suatu motif, awalnya menggambar di kertas lalu diblat lalu dicanting, kenapa mahal ya karena prosesnya,” imbuh Azzam.


Di Balik Sehelai Batik


 Batik mengacu pada proses pelekatan malam/lilin panas pada media kain katun atau kain sutra dengan motif tertentu sebagai teknik perintangan warna. Pada era 1970-an mulai muncul teknik baru untuk membuat tekstil bermotif batik tanpa menggunakan lilin panas sebagai perintang warna namun menggunakan screen sablon. Saat itu “tekstil bermotif batik” dikenal sebagai batik printing, tentu saja penamaan itu keliru karena proses pembuatan printing dan batik itu berbeda. Menurut Iwan Setiawan batik printing ini memiliki nilai ekonomi yang baik dan banyak diminati pasar karena harganya cenderung murah.


“Kalau batik yang memiliki nilai ekonomi itu batik yang bisa diproduksi secara massal dan cepat, yaitu batik printing. Artinya bukan batik tapi tekstil bermotif batik,” ujarnya.


Dilansir dari seragamomahlaweyan.com batik tulis dibuat dengan cara menyiapkan kain dengan cara di-ketel (dicuci), dikanji, dan di-kemplong (disetrika). Selanjutnya dilakukan nyungging yaitu menggambar pola batik pada kain yang dikerjakan oleh spesialis pola. Pada proses ini, pola bisa dibuat langsung di atas kain atau dibuat di kertas terlebih dahulu. Pola yang sudah dibuat di kertas, akan dipindahkan ke kain putih yang akan digunakan. Proses ini disebut juga dengan njaplak.


Proses selanjutnya disebut dengan nglowong, yakni meletakkan malam pada kain dengan canting sesuai dengan pola yang ada. Proses inilah yang membutuhkan waktu lama hingga 2-3 bulan apabila motifnya rumit. Motif yang sudah diletakkan oleh malam masih perlu diisi lagi, atau dengan bahasa Jawa disebut dengan ngiseni. Setelah itu, akan dilakukan nyolet atau memberikan warna pada bagian-bagian tertentu menggunakan kuas. Proses ini dilakukan untuk memberikan kesan hidup dan menarik pada motif.


Proses mopok selanjutnya dilakukan untuk menutup bagian-bagian tertentu yang tidak ingin tercampur atau terkena warna dan akan terlihat tetap polos. Mopok ini dilakukan menggunakan malam/lilin. Selanjutnya, kain akan di-tembok yaitu menutup bagian dasar kain yang tidak perlu diwarnai menggunakan malam tembokan. Setelah itu, kain perlu diwarnai atau nyelir secara menyeluruh dan berulang dicelup agar pewarnaan lebih maksimal dan menyerap. Proses nyelir ini membutuhkan waktu berhari-hari karena pewarna cenderung lambat meresap ke kain. Berdasarkan keterangan dari Iwan Setiawan, umumnya bahan pewarna menggunakan pewarna alam atau pewarna sintetis (kimia).


“(pewarna kimia) bisa dari India, China, Korea, Jepang, dan Jerman. Kalau Kimia biasanya lebih tahan lama daya serapnya di kain,” ujar Iwan.


Pada proses terakhir yaitu nglorod, zat malam diluruhkan dengan merendam kain pada air mendidih. Nglorod dilakukan sebanyak 2 kali agar mendapat hasil maksimal. Setelah proses panjang tersebut, tak heran kain batik mentahan siap dipasarkan dengan harga yang cenderung tinggi. Walaupun prosesnya sama,  setiap satu perusahaan dengan perusahaan lainnya bisa mematok harga harga berbeda. Bahkan dengan proses yang sama, setiap motif bisa berbeda harga pula. Kembali lagi, harga batik tulis juga tergantung bahan baku, kerumitan desain, dan proses produksi. 


“Kalau di Laweyan (setiap pengusaha batik) ada spesialisasinya masing-masing. Semisalnya saya ada permintaan yang ahlinya ternyata dari tetangga (pengusaha lain), maka pesanannya saya alihkan ke dia. Jadi tinggal terima komisi saja,” terang Iwan.


Tak Tinggal Diam, Menolak Tenggelam


Pengrajin batik melakukan proses pengecapan malam ke kain/ Dok. Kultura (Izzam Traviata)
Apa yang terbesit di benak ketika mendengar kata Batik? Kesan kuno dan tradisional adalah hal yang pertama hinggap kala kata itu terdengar. Namun dewasa ini ternyata para pelaku usaha batik tak tinggal diam dengan melakukan berbagai inovasi ditengah modernisasi dan perkembangan teknologi yang menerpa. eksistensi batik seakan tak pernah redup di zaman yang semakin modern dengan perkembangan tren yang masuk secara deras dan berubah ubah.

Ditengah kepungan model fashion yang beragam dan cepat berubah, pengusaha batik dtuntut untuk tetap eksis dan mengikuti pasar. Iwan Setiawan, Pengusaha Batik Laweyan “Puspa Kencana” mengatakan bahwa inovasi harus selalu dilakukan dalam menghasilkan produk yang sesuai dengan pasar. Inovasi yang dimaksud ialah dari segi desain/motif dan warna atau yang dikenal dengan batik modern.

“Terjadi akulturasi dari warna-warna dan motif yang baru ngetren secara fashion di Asia atau Eropa” Ujarnya. Ia menganggap sebagai pengusaha penting untuk mengikuti selera pasar dan tren yang sedang happening.

Sejalan dengan Iwan, ketua harian Batik Putra Laweyan Azzam Fahri, menganggap inovasi batik di era sekarang ini sangat penting. Inovasi menurutnya tak sebatas hanya pada motif dan warna namun juga model busana.

“Kita produksi yang lagi ngetren, kalau sekarang mungkin seperti model busana kimono, blazzer, blus” Jelas Fahri. Ia menjelaskan bahwa untuk produk busana wanita lebih banyak variasinya berbeda dengan pria yang hanya terbatas model kemeja.

Inovasi perlu dilakukan untuk tetap menjaga eksistensi batik dan keberlangsungan usaha para pelaku batik itu sendiri. Iwan menganggap hal tersebut perlu dilakukan untuk menarik pasar konsumen pada era seperti ini khususnya untuk pasar anak muda.

Model busana batik dengan motif dan
warna yang modern/
Dok.Katalog Batik Putra Laweyan

“Anak muda biasanya menyukai motif yang abstrak dan tidak kuno serta kombinasi warna yang menarik” ucap Iwan. Pasar batik sendiri meliputi seluruh kalangan mulai dari orang tua sampai anak muda baik domestik maupun internasional.

Iwan menuturkan bahwa konsumen batik produksi Kampung Batik Laweyan ini berasal dari seluruh Indonesia dan luar negeri seperti Amerika, Eropa, dan Asia Tenggara. Dalam penjualan skala tersebut para pengusaha batik memanfaatkan media sosial dan market place untuk memasarkan produknya.

Hampir semua pelaku batik telah memanfaatkan media online untuk memasarkan produknya dan memperkenalkan brand mereka ke pasar luas. Azzam Fahri menjelaskan bahwa Batik Putra Laweyan selain mengandalkan penjualan dari wisatawan yang berkunjung ke toko, juga menggunakan media sosial dan market place dalam pemasaran.

Media sosial yang dimaksud seperti Instagram, Whatsapp, dan Facebook.”Kalau penjualan di market place kaya tokped dan shopee itu lebih sengit (bersaingnya)” tuturnya.

Share:

Posting Komentar

Copyright © Koma. Designed by OddThemes