Kepiawaian Leani Ratri Oktila dalam bermain badminton tak seketika pudar akibat kecelakaan yang dialaminya. Justru dari sanalah ia menjelma menjadi Queen of Para-badminton.
Potret Leani Ratri Oktila saat ditemui Redaksi Koma. Surakarta, 4 Oktober 2021/Dok.Koma |
“Pa, saya kecelakaan. Tangan dan kaki saya patah,” ucap Ratri muda 10 tahun silam ketika menghubungi sang ayah lewat telepon. Ia baru saja menyelesaikan pertandingan badminton di Pekanbaru dan sedang dalam perjalanan pulang saat kejadian tragis tersebut menimpa. Motor yang ia kendarai dengan nahas menabrak sebuah mobil di tengah perjalanan. Ratri yang saat itu berusia 20 tahun sepenuhnya sadar bahwa kecelakaan tersebut menyebabkan kaki dan tangannya patah.
“Saya tahu nih kaki saya udah bengkak, udah mbalik posisinya, tangan juga ga jelas bentuknya,” ungkap Ratri ketika berbincang bersama, pada Senin, 4 September lalu.
Bukannya meratapi kondisi tangan dan kaki yang patah, Ratri justru berpikir bahwa kecelakaan tersebut merupakan salah satu jalan yang bisa membuatnya beristirahat sejenak. Ia merasa sudah cukup lelah harus melakukan perjalanan pulang pergi dari kampungnya ke Pekanbaru, baik untuk latihan maupun bertanding. Perjalanan yang harus Ratri tempuh kurang lebih memakan waktu dua jam dan rutin ia jalani beberapa kali dalam seminggu.
Mengenang kejadian tersebut, Ratri mengatakan “Saat itu saya capek, saya pengen istirahat. Mungkin dengan cara begini saya bener bener istirahat. Pas kecelakaan jadi saya ga pernah berpikir aduh habis nih saya.”
|
Lapangan buatan Mujiran ternyata mengantarkan Ratri menjadi atlet badminton cilik yang rajin mengikuti perlombaan baik Porseni, O2SN, dan POPDA. Ratri kecil bisa dibilang diunggulkan di Riau sejak SD sampai SMA. Istimewanya, ia berhasil menjajaki kompetisi tingkat nasional saat berumur 9 tahun. “Cuma saya selalu gagal di tingkat nasional ketika ketemu lawan lawan dari Jawa,” kenangnya.
Hingga bangku SMA, Ratri masih mengikuti pertandingan badminton di kelas umum atau non para. Namun, kecelakaan nahas yang ia alami di tahun 2011 memaksanya untuk beristirahat selama satu tahun dan nantinya akan membawa Ratri menjadi atlet Paralimpiade kondang. Kecelakaan tersebut mengakibatkan panjang kaki kanan dan kirinya berbeda lebih dari 7 cm serta tangan kanannya tak bisa dilipat dengan sempurna. Ratri mengaku setelah kejadian tersebut, awalnya ia sudah tidak berpikir untuk bermain badminton lagi dan memilih untuk menekuni pendidikannya.
Perjalanan Ratri untuk memperoleh julukan Queen of Para-badminton sejatinya dimulai pada tahun 2012. Kala itu ia pertama kali menyaksikan bagaimana para atlet difabel berlatih untuk mempersiapkan Pekan Paralimpiade Nasional (PEPARNAS) di Riau. Semangat para atlet difabel tersebut menyadarkan Ratri bahwa dirinya juga bisa bersinar seperti mereka. “Pas waktu sebelum PEPARNAS mulai, temen temen disana latihan ada yang pake kursi roda, ada yang kakinya lebih kecil tapi mereka semangat latihan. Itu yang membuat saya berpikir saya bisa bermain disini,” ungkapnya.
Potret Leani Ratri Oktila pada saat berlatih/Dok.NPC |
Awalnya, keinginan Ratri untuk terjun ke Paralimpiade sempat terjegal oleh larangan orang tua. Namun, selepas menyaksikan latihan atlet PEPARNAS, Ratri mencoba menjelaskan dan meyakinkan kembali kepada orang tuanya jika ia bisa bermain di Paralimpiade. “(Dulu) dilarang orang tua karena papa dan keluarga gatau ada olahraga difabel. Terus kata kata difabel itu di daerah saya ngga ada. Orang taunya olahraga (untuk) orang cacat. Nah, papa saya mikirnya anak saya nggak cacat, kok dibawa main ke tempat orang cacat,” jelas Ratri.
Pada akhirnya, usaha Ratri untuk meyakinkan orang tuanya berbuah hasil. Ia berhasil mewakili Riau dalam PEPARNAS 2012 dan menjadi juara. Kemenangan tersebut sekaligus membuka pintu kesuksesan Ratri di dunia Para-badminton. Ia langsung ditarik untuk bergabung ke Pelatnas oleh Nurrahman, salah satu pelatih para badminton NPC, dengan iming-iming kejuaraan Indonesia Open. Hal tersebut menjadi salah satu motivasi Ratri untuk menerima ajakan Nurrahman karena ia ingin membawa nama Indonesia di kejuaraan internasional.
“Oh pengen juga dong kapan lagi bawa nama Indonesia (di kejuaraan Internasional) karena sebelumnya kan saya belum pernah bawa nama Indonesia,” ujar Ratri. Langkah awalnya berkiprah di dunia Para-badminton Internasional ditandai dengan kemenangan saat Indonesia Open. Ia berhasil menyabet 1 medali emas, 1 medali perak, dan 1 perunggu. Setelahnya ia dengan lincah memupuk medali dari beberapa event Para-badminton.
Aktifnya Ratri mengikuti berbagai event Para-badminton ini tak lain tujuannya untuk mengumpulkan poin sebagai syarat mengikuti Paralimpiade Tokyo 2020. “Mencari poin jauh jauh dari 2018, 2019, 2020. Tahun sebelumnya itu kan ada ya di jadwal jadwalnya apa aja sih yang masuk dalam Road to Tokyo. Kita berusaha mengikuti setiap event yang ada, apalagi kan pemerintah atau kemenpora juga selalu mengingatkan ke NPC Indonesia bahwa kita harus mengikuti kualifikasi. Jadi kita sering mengikuti event event itu. Terutama yang tercantum dalam Road to Tokyo itu tadi,” paparnya. Ratri mengaku dirinya mendapatkan tiket menuju Paralimpiade Tokyo lewat kemenangan di World Championships.
“Saya orang yang terlalu ambisius jadi lebih sensitif ketika latihan. Paralimpiade ini beda dari event sebelumnya. Hampir semua pelatih sampai khawatir takut saya overtraining. Saya fokus latihan aja, memang semuanya saya nomor duakan,” ungkap Ratri saat ditanya mengenai persiapan menuju Paralimpiade Tokyo 2020. Ia bercerita bahwa dirinya kerap datang lebih awal ketika latihan. Ketika atlet lain datang jam 8, Ratri sudah berlatih lebih dahulu sejak jam 7. Hal ini dilakukan Ratri karena dirinya harus bermain di 3 nomor Para-badminton yakni single, double, dan mix double. “Tujuannya apa? Pas teman-teman saya datang kaya Alim datang, Mas Hary datang, saya udah siap nih untuk single, double, atau mix. Sedangkan single saya sudah latihan duluan,” tutur Ratri.
Potret Leani Ratri Oktila pada saat berlatih/Dok.NPC |
Namun, disamping itu Ratri berkata jika mental menjadi hal yang paling ia perhatikan selama persiapan Paralimpiade Tokyo 2020. Ia berupaya semaksimal mungkin untuk mengelola rasa gugupnya saat hendak menghadapi pertandingan. “Saya gak mau mengulangi kesalahan kaya di ASEAN Para Games. Saya kalah bukan karena permainan atau teknik, tapi saya kalah karena mental,” pungkasnya.
Bicara soal stamina, selama pertandingan di Tokyo Ratri mengaku kondisi fisiknya cukup kelelahan. Dekatnya jarak waktu pertandingan satu dengan yang lain membuat masa pemulihan fisiknya kurang maksimal. “Gak bisa dibohongi ketika final posisi fisik saya belum 100%, saya gak sempat recovery dengan waktu cepat,” ujarnya. Untuk menyiasati hal tersebut, Ratri selalu memanfaatkan waktu luang yang ada sebaik mungkin untuk beristirahat. “Iya selalu pas istirahat saya selalu bawa karpet kecil atau bantal, kalau yang lain selesai (langsung) pulang, kalau saya beberapa jam lagi main lagi, jadi istirahat dimana aja, di ruang warming up (juga)” ujar Ratri.
Leani Ratri Oktila memamerkan medali perak setelah mengalahkan China di nomor tunggal putri SL4 Paralimpiade Tokyo 2020, Sabtu, 4 September 2021 /Dok.NPC |
Pahit manis yang ia rasakan selama persiapan maupun di sela-sela pertandingan rupanya tidak mengkhianati Ratri. Hasil manisnya, ia berhasil menyabet dua medali emas dan satu medali perak di Paralimpiade Tokyo 2020. Kepiawaiannya bermain badminton tersebut membuatnya dijuluki sebagai Queen of Para-badminton. Ratri awalnya berpikir julukan tersebut terlalu mewah dan wow. Namun, setelah berhasil memboyong medali emas di Paralimpiade, Ratri merasa ia layak dijuluki sebagai Queen of Para-badminton. “Saya bangga sih dijuluki seperti itu. Karena mungkin sebelumnya di para-badminton belum ada atlet lain yang (mendapat) banyak gelar seperti saya, jadi saya rasa saya layak dijuluki gelar ini,” ucap Ratri dengan bangga.
Selamat atas kemenangannya, Queen of Para-badminton!
Posting Komentar