Serba-serbi hidup menjadi warganet dan konsumen konten digital yang dikaji menggunakan teori komunikasi milik Christian Fuchs.
KOMA.CO — Awalnya berselancar di dalamnya sangatlah menyenangkan. Klik-klik, swipe-swipe, sampai masuklah pemikiran akan kesadaran,
“...hiburan adalah perpanjangan kerja, sebetulnya kita sedang dieksploitasi oleh penguasa dimana selera kita diperjualbelikan dalam bentuk iklan bagi kita sendiri.”
Begitulah digital labour dideskripsikan bersama dengan review-review organik oleh warga internet menurut Christian Fuchs. Lebih jauh saya mencoba mendalami konsep digital labour sebagai salah satu bentuk eksploitasi media sosial yang kita gunakan terhadap diri kita sendiri.
Era disruptif. Saat ini kita semua tengah berada di ‘zamannya’, ditandai dengan inovasi akan teknologi terus melaju dan berkembang ke arah kemajuan. Sampai-sampai kita sendiri tidak bisa menyadari, terbuai akan teknologi yang terus merubah sistem-sistem lama yang sebelumnya ada. Selain tidak pasti, kedatangannya pun tidak bisa terelakkan oleh siapapun (Rahardja, 2019). Inovasi tersebut menghasilkan perubahan besar bagi siapa saja yang menggunakannya, merubah tindakan dan pola hidup mereka. Bagi sebagian orang yang tak masalah akan kehadiran era disruptif ini, internet dianggap sebagai tempat yang nyaman untuk berpendapat, memberdayakan diri dan masyarakat, dan tempat dimana kebebasan bisa dirasakan. Paham seperti ini disebut dengan cyber optimistic. Zhao (2014) mengatakan bahwa para cyber optimistic menyatakan bahwa warga bisa memanfaatkan media baru untuk men-selforganize.
Di sisi lain, media digital mempunyai kekuatan besar dengan menarik data-data para penggunanya dan kemudian data ini disesuaikan dengan algoritma mereka sehingga menghasilkan konten-konten iklan sesuai minat pengguna. Dengan kekuatan tersebut, media digital dapat dengan mudah mengeksploitasi selera penggunanya. Aktivitas online yang kita lakukan melalui menciptakan konten, interaksi dengan pengguna lain, lokasi, meramban data (browsing), aktivitas menyukai, dan sebagainya menjadi dasar bagaimana eksploitasi dapat mudah dilakukan kepada kita. Namun anehnya, ada suatu fenomena media digital dimana kita bekerja untuk orang lain, kita tidak mendapatkan bayaran apapun, tapi kita merasa bahagia. What an irony...
Christian Fuchs (2013) menyebut orang-orang demikian sebagai play labour atau disingkat menjadi playbour, dan disebut di beberapa penelitian lain sebagai digital labour atau free labour. Fuchs memandang aktivitas online yang menyenangkan berbarengan dengan aktivitas bekerja kita sebagai buruh online. Digital labour menciptakan sebuah komoditas data yang dijual kepada klien iklan sebagai komoditas. Dengan demikian klien iklan memungkinkan menyajikan iklan yang ditujukan untuk kepentingan pengguna dan perilaku daring. Iklan yang ditargetkan adalah inti akumulasi modal dari banyak platform media sosial. Secara hukum, hal tersebut legal dilakukan karena pengguna sendiri telah menyetujui peraturan penggunaan dan kebijakan privasi (accepted terms of use and privacy policies).
Lalu bagaimana kebahagiaan dan kebanggaan itu bisa terjadi ketika diri sendiri menjadi labour tak dibayar? Fenomena ini biasanya muncul ketika warganet mengulas produk yang ia beli kemudian membagikannya secara luas di media sosial mereka. Pada kasus umum, mereka turut menandai akun merek produk yang mereka ulas untuk mendapatkan perhatian lebih banyak.
Ulasan organik, yakni ulasan tanpa disuruh dan tanpa bayaran dari warga internet merupakan salah satu bentuk free labour. Mereka yang menulisnya merasa senang berbagi pengalaman menggunakan produk dengan warga internet lainnya. Terlebih, apabila mereka menandai akun merek dan berhasil di posting kembali (seperti contoh di atas), mereka merasa ada kebanggan tersendiri telah melakukan hal tersebut. Padahal, bila dilihat dari paradigma kritis, mereka sedang dimanfaatkan oleh para pemilik merek untuk turut mempromosikan produk ke pengikut mereka, tanpa imbalan apapun.
Kenyataannya, apa yang diunggah pada postingan tweet, instastory ataupun status Facebook kita bukan hanya sekadar ‘pembaharuan postingan’ saja. Namun juga terdapat pemahaman khusus tentang dunia yang secara bersamaan kita berkontribusi untuk mereproduksi konten. Artinya, kita turut serta dalam polarisasi dan ekshalasi tenaga kerja digital, serta mewujudkan proyek politik sosial, bahkan pemasaran (Briziarelli, 2014).
Menilik lebih sederhana, sebetulnya kita sendiri ini adalah seorang buruh pula. Melalui curhatan-curhatan kita di media sosial, mau yang bebas seperti Twitter dan Instagram, maupun ranah privasi seperti WhatsApp, apabila kita berkeluh kesah, kapitalis pemilik modal tetap dapat mengetahui apa keinginan kita, keresahan kita. Sehingga bila kita bercerita pada teman yang kita percaya melalui WhatsApp, bahwa kita menginginkan sesuatu, hal yang kita inginkan tersebut akan masuk ke algoritma media sosial dan muncul dalam bentuk iklan yang menawarkan kepada kita.
Misalnya, saya pernah menuliskan pertanyaan di chat WhatsApp kepada teman tentang harga buah pisang, tak lama kemudian ketika saya membuka Instagram iklan buah pisang muncul di sela-sela Instastories yang saya sedang lihat. Wah, seperti menerawang pikiran saja. Mengapa bisa langsung tahu bahwa saya menginginkan buah pisang?
Hal demikian membuktikan opini Fuchs & Sandoval (2014) bahwa di setiap industri media kapitalis, berbagai bentuk keterasingan dan eksploitasi dapat ditemukan.
Posting Komentar