Perjuangan keras Tim Para-Badminton Indonesia untuk meraih medali pada Paralimpiade Tokyo 2020 di Yoyogi National Stadium, Tokyo, Jepang.
Atlet Indonesia Fredi Setiawan bertanding melawan atlet India, Suhas Yathiraj pada semifinal Para badminton nomor tunggal putra SL4, Sabtu, 4 September 2021./Dok.NPC Indonesia |
Pagi hari itu di musim panas yang menyengat, kedatangan tim Merah Putih disambut bak pembawa bahaya di Negeri Sakura. Jangankan untuk menikmati indahnya langit Tokyo, melaksanakan hajat setelah terbang di atas awan selama hampir delapan jam pun tak boleh. Ruangan khusus beserta alat medis adalah sambutan pertama yang mereka dapat selepas menginjakkan kaki di Lapangan Terbang Haneda, Kamis, 19 Agustus lalu.
“Setelah sampai di Jepang tidak boleh kemana-mana dulu, harus langsung tes swab PCR dan menunggu hasilnya sekitar satu jam lamanya,” ujar atlet para-badminton Indonesia, Fredy Setiawan. Ia menambahkan bahwa setelah dites dan dinyatakan aman, tim para-badminton Indonesia baru bisa melanjutkan perjalanannya menuju Kota Machida guna melakukan adaptasi dan training camp.
Indonesia sendiri mendapatkan cap sebagai negara paling ‘berbahaya’ yang harus diwaspadai bagi tuan rumah maupun negara-negara lain peserta Paralimpiade Tokyo 2020. Sungguh bukan hal yang mengejutkan, karena pada saat itu varian delta sedang mengamuk di tanah air.
Tiga hari pertama di Jepang hanya mereka habiskan untuk mengurung diri. Memang hal tersebut tidak bisa dihindari karena merupakan protokol dari penyelenggara bagi negara dengan cap berbahaya seperti Indonesia. “Tiga hari pertama kita isolasi dan tidak boleh bertemu dengan kontingen negara manapun, hanya boleh bertemu dengan sesama Indonesia,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal National Paralympic Committee Indonesia, Rima Ferdianto.
Rima menceritakan bahwa kontingen Indonesia pernah mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dimana ketika beberapa dari mereka salah memasuki tempat makan karena memang belum terbiasa. Kemudian dalam waktu singkat, pihak penyelenggara langsung mengelilinginya seolah diperlakukan seperti buronan.
“Kita sempat kesal juga kan, kok diperlakukan seperti itu. Tapi pada akhirnya kita merasa wajar dan maklum karena pada saat itu penularan varian delta luar biasa di Indonesia,” imbuhnya. Rima juga menjelaskan setelah tiga hari pengasingan itu selesai, mereka tak lagi mendapat perlakuan serupa, hanya saja beberapa negara masih menghindar ketika melihat kontingen beratribut merah dan putih.
Setelah sekitar satu minggu terlewati, saat yang dinantikan pun telah tiba. Tepat pada 1 September lalu tim para-badminton Indonesia memulai pertempurannya. Kepala Pelatih Para-badminton Indonesia, Jarot Hernowo mengatakan bahwa atlet harus memperhatikan beberapa aspek penting ketika mengikuti kompetisi.
Saat pertandingan, kata Jarot, atlet harus memahami pentingnya istirahat, asupan, dan latihan. “Setelah ketiga tiga aspek itu sudah dilakukan, saat jalannya kompetisi atlet hanya wajib menjaga stamina dan konsentrasi dari satu pertandingan ke pertandingan selanjutnya,” ucapnya.
Jatuh bangun mereka berjuang mengalahkan musuh-musuhnya. Walau tak semua pejuang dapat mencapai babak akhir, pada akhirnya emas yang didambakan tinggal berjarak selangkah di depan mata.
Emas pertama Indonesia lahir dari perjuangan Leani Ratri Oktila dan Khalimatus Sadiyah yang berhasil mengalahkan pasangan Tiongkok Cheng Hefang dan Ma Huihui pada partai final ganda putri SU3-SL5.
Leani Ratri Oktila (kiri) dan Khalimatus Sadiyah (kanan) mengangkat medali emas pertama Indonesia setelah mengalahkan Tiongkok di nomor ganda putri SL3-SU5, Sabtu, 4 September 2021./Dok.NPC Indonesia |
Hasil tersebut tak lahir begitu saja, pertandingan diwarnai dengan saling tukar serangan. Pasangan Tiongkok tak sedikitpun memberikan kesempatan Ratri dan Alim jarak untuk memimpin poin.
Bermain dengan tribun stadion yang kosong, teriakan Ratri dan Alim terdengar jelas di sepanjang pertandingan. “Kalau dia (Alim) main, kayak orang di pasar dia,” Ujar Ratri. Ia menambahkan tujuannya tidak lain untuk berkoordinasi dan membangkitkan semangat diri.
Ratri mengaku tak begitu terpengaruh dengan kosongnya stadion akibat pandemi Covid-19. Ia menganggap dukungan yang menguatkannya tidak hanya didapat dari penonton di tribun, namun seluruh masyarakat Indonesia yang mendukung dari jauh merupakan dukungan terbesar.
Pertarungan itu usai ketika pengembalian shuttlecock dari Cheng Hefang jatuh diluar garis lapangan. Tangis keduanya pecah setelah pengadil lapangan menyatakan permainan telah usai dan para-badminton persembahkan emas pertama untuk Indonesia. “Masih nggak nyangka, masih mimpi. Masa iya aku bisa?” tutur Khalimatus Sadiyah saat ditemui Koma.co pada 4 Oktober lalu.
Satu hari berselang, emas kedua kembali dipersembahkan Leani Ratri Oktila. Namun kali ini ia bersama Hary Susanto yang bertarung pada kelas ganda campuran SL3-SU5. Mereka berhasil mengalahkan pasangan Prancis Lucas Mazur dan Faustine Noel dengan skor 23-21 dan 21-17.
Ganda campuran Indonesia, Ratri dan Hary bertanding melawan pasangan Prancis pada final Para Badminton nomor ganda campuran SL3-SU5. Minggu, 5 September 2021./Dok.NPC Indonesia |
Jalannya laga antara keduanya sangat sengit, Ratri dan Hary berkali-kali ditekan oleh pasangan Prancis. Hingga pada pertengahan pertandingan keduanya sempat jatuh tersungkur ketika menerima bola dari lawan. “Karena ini partai terakhir pokoknya loss mati-matian di lapangan pada saat itu,” tutur Ratri.
Pada akhirnya Ratri dan Hary berhasil memenangkan pertandingan tersebut setelah smash keras Ratri gagal ditangkis dengan sempurna oleh Noel. Bendera Merah Putih berkibar dan lagu Indonesia Raya berkumandang di Negeri Matahari Terbit.
Hary Susanto (kiri) dan Leani Ratri Oktila (kanan) mengangkat medali emas setelah mengalahkan Prancis di nomor ganda campuran SL3-SU5, Minggu, 5 September 2021./Dok.NPC Indonesia |
“Rasanya merinding, kita bisa merasakan perjuangan kita selama ini untuk mengharumkan bangsa. Perjuangan saya dan tim tidak sia-sia,” ucap Ratri.
Final tersebut merupakan laga terakhir tim Merah Putih dan juga hari terakhir perhelatan Paralimpiade Tokyo 2020. Tim Para Badminton Indonesia kembali ke tanah air dengan rasa bangga karena telah meraih sukses besar di Tokyo dengan perolehan dua emas, dua perak, dan dua perunggu.
Posting Komentar